Marga Tionghoa

Marga Tionghoa merupakan marga yang digunakan orang Tionghoa. Marga (Hanzi: 姓氏, hanyu pinyin: xingshi) biasanya berupa satu karakter Han (Hanzi) yang diletakkan di depan nama seseorang. Ada pula marga yang terdiri dari 2 atau bahkan 3 sampai 9 karakter – marga seperti ini disebut marga ganda (Hanzi: 復姓, hanyu pinyin: fuxing). Marga Tionghoa juga diadopsi oleh suku-suku minoritas yang sekarang tergabung dalam entitas Tionghoa. Marga dalam suku-suku minoritas ini biasanya berupa penerjemahan pelafalan dari bahasa suku-suku minoritas tadi ke dalam Hanzi. Penggunaan marga di dalam kebudayaan Tionghoa telah mempunyai sejarah selama 5.000 tahun lebih.

Asal Usul
Marga Tionghoa merupakan marga yang digunakan orang Tionghoa. Marga (Hanzi: 姓氏, hanyu pinyin: xingshi) biasanya berupa satu karakter Han (Hanzi) yang diletakkan di depan nama seseorang. Ada pula marga yang terdiri dari 2 atau bahkan 3 sampai 9 karakter – marga seperti ini disebut marga ganda (Hanzi: 復姓, hanyu pinyin: fuxing). Marga Tionghoa juga diadopsi oleh suku-suku minoritas yang sekarang tergabung dalam entitas Tionghoa. Marga dalam suku-suku minoritas ini biasanya berupa penerjemahan pelafalan dari bahasa suku-suku minoritas tadi ke dalam Hanzi. Penggunaan marga di dalam kebudayaan Tionghoa telah mempunyai sejarah selama 5.000 tahun lebih.

Marga Tionghoa di Indonesia
Marga Tionghoa di Indonesia terutama ditemukan di kalangan suku Tionghoa-Indonesia. Suku Tionghoa-Indonesia walau telah berganti nama Indonesia, namun masih banyak yang tetap mempertahankan marga dan nama Tionghoa mereka yang masih digunakan di acara-acara tidak resmi atau yang bersifat kekeluargaan.

Diperkirakan ada sekitar 300-an marga Tionghoa di Indonesia, data di PSMTI (Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia) mencatat ada sekitar 160 marga Tionghoa di Jakarta. Di Singapura sendiri ada sekitar 320 marga Tionghoa. Atas dasar ini, karena daerah asal suku Tionghoa di Indonesia relatif dekat dengan Singapura maka dapat diambil kesimpulan kasar bahwa jumlah marga Tionghoa di Indonesia melebihi 320 marga.

Marga Tionghoa di Indonesia mayoritas dilafalkan dalam dialek Hokkian (Minnan). Hal ini tidak mengherankan karena mayoritas keturunan Tionghoa-Indonesia adalah berasal dari Provinsi Fujian (Provinsi Hokkian).

Marga yang lazim di kalangan Tionghoa-Indonesia semisal:

  • Cia/Tjia (Hanzi: 謝, hanyu pinyin: xie)
  • Gouw/Goh (Hanzi: 吳, hanyu pinyin: wu)
  • Kang/Kong (Hanzi: 江, hanyu pinyin: jiang)
  • Lauw/Lau (Hanzi: 劉, hanyu pinyin: liu)
  • Lee/Lie (Hanzi: 李, hanyu pinyin: li)
  • Oey/Ng/Oei (Hanzi: 黃, hanyu pinyin: huang)
  • Ong (Hanzi: 王, hanyu pinyin: wang)
  • Tan (Hanzi: 陳, hanyu pinyin: chen)
  • Tio/Thio/Theo/Teo (Hanzi: å¼µ, hanyu pinyin: zhang)

Masih banyak lagi marga-marga lain yang dapat ditemui. Salah satu fenomena umum di Indonesia adalah karena marga dilafalkan dalam dialek Hokkian, sehingga tidak ada satu standar penulisan (romanisasi) yang tepat. Hal ini juga menyebabkan banyak marga-marga yang sama pelafalannya dalam dialek Hokkian terkadang dianggap merupakan marga yang sama padahal sesungguhnya tidak demikian.

  • Tio selain merujuk kepada marga Zhang (å¼µ) dalam Mandarin, juga merupakan dialek Hokkian dari marga Zhao (趙).
  • Ang selain merujuk kepada marga Hong (æ´ª) dalam Mandarin, juga merupakan dialek Hokkian dari marga Weng (翁).

sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Marga_Tionghoa

Lalu kita akan melihat sejarahnya dari https://id.chinabroadcast.cn/chinaabc/chapter14/chapter140505.htm

Sebagaimana diketahui, setiap orang mendapat namanya begitu dilahirkan dan nama itu biasanya akan mendampinginya seumur hidup. Nama sebenarnya memainkan peran panggilan untuk membedakan satu sama lain. Namun pada zaman kuno Tiongkok, nama mempunyai arti yang lebih banyak daripada itu.

Selama sejarah Tiongkok, kebudayaan nama Tiongkok merupakan salah satu mata rantai penting dalam kehidupan material dan kehidupan spiritual bangsa Tionghoa, dan memainkan peran penting dalam bidang politik, kebudayaan dan kegiatan sosial. Data arkeologi membuktikan, jauh pada satu juta tahun yang lalu, orang Tionghoa sudah berkembang biak di tanah airnya yang bersejarah lama, namun sejarah bagi “marga” atau nama keluarga bangsa Tionghoa baru muncul pada masyarakat matriarkat pada 5 atau 6 ribu tahun yang lalu. Salah satu tanda khas masyarakat matriarkat ialah wanita berperan dominan dalam penanganan urusan intern. Sementara itu, berbagai etnis melakukan kawin campur, sedangkan di dalam etnis dilarang kawin. Pelaksanaan sistem perkawinan itu memerlukan cara dan tanda untuk membedakan anggota mana yang mempunyai hubungan darah langsung dan tidak, dengan demikian lahirlah tanda identifikasi bagi sesama saudara yang berhubungan darah sama, yakni “marga”.

Menurut hasil penelitian Gu Yanwu, seorang sarjana yang hidup pada zaman Dinasti Qing, dinasti terakhir dalam sejarah Tiongkok, di Tiongkok seluruhnya terdapat 22 marga yang bersejarah paling lama, tapi kemungkinan besar banyak marga yang lain sudah hilang dalam sejarah seiring dengan lenyapnya etnis di mana marga itu bergabung. Sementara itu, marga-marga yang dapat diwariskan juga mengalami perubahan sangat besar. Kira-kira pada 4 sampai 5 ribu tahun yang lalu, Tiongkok mulai memasuki masyarakat kelas tanpa melalui masyarakat patriarkat setelah melewati masyarakat matriarkat. Salah satu tanda pokok untuk masa peralihan itu ialah, saling pengaruh dan saling perlawanan antar berbagai entis terjadi semakin kerap sehingga muncul konfigurasi menang dan kalah, yaitu terbentuklah masyarakat kelas. Seiring dengan munculnya masyarakat baru itu, banyak anggota sosial yang berjasa dianugerahi tanah dan diizinkan membuka daerah hidup yang baru dengan membawa famili, bawahan dan tawanan perangnya. Orang-orang itu berasal dari berbagai marga dan setelah menetap di satu daerah yang baru, mereka diberikan tanda baru yang berhubungan dengan daerah di mana mereka menetap, yaitu shi dalam bahasa Tionghoa, yang artinya hampir sama dengan “marga”.

Pada abad ke-3 Sebelum Masehi, Negara Qin berhasil menyatukan Tiongkok. Setelah itu, marga yang berasal dari masyarakat matriarkat dan shi yang berasal dari masyarakat patriarkat mulai bergabung. Setelah itu dalam masyarakat feodal selama dua ribu tahun lamanya, dinasti lama terus digantikan oleh dinasti yang baru untuk puluhan kalinya dan setiap kali pasti akan melahirkan pangeran baru di tempat yang baru, sehingga melahirkan pula marga yang baru. Pada masa itu, marga menjadi tanda kedudukan kelas dan terbentuklah kebudayaan khas sekitar marga dan nama. Kebudayaan itu diwarisi turun temurun dan tradisi untuk mencari nenek moyang yang tertanam dalam lubuk hati orang Tionghoa adalah daya kohesi bagi bangsa Tionghoa.

Sampai sekarang masyarakat Tionghoa di luar negeri masih mempunyai tradisi untuk mencari nenek moyangnya di Daratan. Pada tahun-tahun belakangan ini, kebudayaan nama Tiongkok, sebagai hasil sejarah telah dianggap sebagai khazanah untuk mempelajari sejarah lama bangsa Tionghoa. Pada pokoknya, serentetan tanda pada masyarakat zaman kuno Tiongkok semuanya termanifestasi melalui kebudayaan nama dan itulah salah satu sebabnya mendapat perhatian semakin tinggi kalangan sarjana.

Hendra :

Marga gw Ann trus nama gw Djing, itu berarti nenek moyang gw berasal dari mana yak ? 😀

Share

Notice: ob_end_flush(): failed to send buffer of zlib output compression (1) in /home/enamyid/public_html/hendra-k.net/wp-includes/functions.php on line 5427

Notice: ob_end_flush(): failed to send buffer of zlib output compression (1) in /home/enamyid/public_html/hendra-k.net/wp-includes/functions.php on line 5427